Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

Kontemplasi Jumat Pagi

Jam 1 pagi, ditemani merdunya pita suara para musisi yang karyanya dibajak dan tersimpan di laptopku secara ilegal, serta kebisingan kipas angin di kamar tempatku biasa mengurung diri, aku merenungkan banyak hal. Berkontemplasi, menghasilkan imajinasi liar, yang kemudian semuanya bermuara pada satu hal: memikirkan kamu. Sehari tanpa dihinggapi kamu di kepala seperti paru-paru tanpa udara, Jakarta tanpa macet, atau memasak Indomie rasa kari ayam tanpa setetes pun air; sulit dimengerti. Ke sana ke mari, berlari hingga seribu kali mengitari bumi. Keringat menetes tiada henti, mengairi selokan, membanjiri jalan. Terbang menembus lapisan atmosfer paling tinggi, hingga oksigen tidak bisa dihirup lagi, mati terombang ambing di luar angkasa sendiri. Atau tenggelam hingga terperangkap di palung paling dalam, menembus mayat-mayat yang membusuk, berenang-renang hingga kemudian hanyut sampai hangus ditelan perut bumi. Di antara pemikiran absurd yang terlintas di kepala, terselip senyum

Rindu dan Ketikan yang Menguap

Di depan mataku terpampang tampilan Microsoft Word yang didominasi kertas digital berwarna putih, memelas untuk segera diisi. Sebenarnya terlalu banyak yang ingin kutulis. Namun semua menguap ketika jemari tanganku telah berbaring tepat di atas tumpukkan tombol-tombol laptopku. Semua menguap begitu saja. Entah menguap melalui proses apa; mengembun karena kepalaku sudah terlalu lama mendidih; atau mengasap karena kepalaku sudah terlalu lama terbakar. Hal tersisa yang teringat untuk kutulis adalah, aku ingin menyampaikan padamu, bahwa aku, priamu, merindukan keberadaanmu, sedang duduk di sebelahku, lalu melingkari pinggangku dengan kedua lengan lembutmu. Mendekapku. Menyatakan jika kamu mencintaiku dengan bahasa tubuhmu. Dan pasukan kupu-kupu berlarian menghujam perutku. Memukul keras jantungku. Lalu aku membalas pelukanmu. Mendaratkan bibirku pada keningmu. Membalas pesan dari tubuhmu. Kemudian aku kembali berpikir, apakah sebenarnya aku benar-benar melupakan apa yang henda

Tewas Dalam Kabut

Bulan yang terik mengantarku berjalan di sela-sela keheningan.  Udara terasa tajam seperti duri yang menusuk.  Diiringi kabut tebal yang menari-nari di antara dedaunan.  Kemudian aku dijebloskan ke dalam kurungan imajinasi. Yang kulihat pertama kali adalah sebuah sofa panjang berwarna abu-abu. Ada kamu yang melambaikan tangan kanan, berusaha menyeretku duduk di sebelahmu menggunakan senyum dengan takaran manis yang membuat siapa saja bisa tewas karena overdosis. Kemudian aku duduk. Rasanya tegang sekali. Jantungku memompa darah ke arah pembuluh yang salah. Bahkan organ tubuhku saja lupa untuk menjadi normal. Kemudian kita bercengkrama. Kamu memulai percakapan dengan bertanya bagaimana kabarku. Aku diam. Lama sekali. Aku tewas overdosis. Lalu aku bangun dan tersadar, bahwa kita sedang tidak bertemu. Bahwa aku hanya terperangkap pikiran sendiri. Bahwa aku merindukanmu.

Tenggelam

Aku masih tenggelam Mengulurkan satu tangan Menunggu tanganmu datang Untuk segera kugandeng

Menepis Ragu

Tepis keraguan yang merasuki kepalamu Buang jauh-jauh, kubur dengan batu Sirami kenangan yang kita tulis bersama di atasnya Biar dia tidak mengganggumu lagi Jangan biarkan dia kembali Genggaman bertahun-tahun Tentu lebih kokoh dari ragu yang barusan Tapi bisa roboh seketika Saat ragu menutupi matamu Jangan biarkan dia menghalangi Tawa-tawa itu Usapan jemariku menyisisir mahkota kepalamu Ketika kedua sudut bibir kita terangkat Ingatan itu membakar ragu Hanguskan ragu dengan kenanganmu Saat sulit bagi kita saling tatap Kumpulan rindu-rindu itu meledak Berteriak minta bertemu Kala itu membuat sadar Kita memang saling membutuhkan Ingat-ingat lagi semua yang terjadi Memori yang tersusun Memenuhi dinding galeri Yang didatangi koleksi baru tiap hari Tenggelamkan dirimu Tatap setiap bingkai di situ Perasaan tidak karuan Pelukan menghangatkan Saling menyelamatkan Dadamu disesaki keriuhan ilustrasi di pikiran menyadarkan Bahwa sekarang kita ada untuk

Zat Adiktif

Jika senyummu adalah zat adiktif terlarang Maka aku rela seumur hidup dipenjara Daripada aku gila lalu mati Karena sakau tidak melihatmu tersenyum

Kesal

Tidak biasanya aku peduli pada kebodohan Tidak peduli akan apa yang mereka lakukan Namun aku kesal, terpicu untuk meluruskan Tentang hubungan dua orang bodoh yang bertahan Hubungan dua orang tidak bisa melangkah sendirian Seperti kaki kiriku yang lebam dihantam lawan Perih, membengkak, sulit digerakkan Kaki satunya berjalan kesusahan Memikul beban berlebihan Dua orang yang tidak beriringan Langkah cacat mereka hasilkan Entah ke mana arah dan tujuan Tidak jelas apa yang diinginkan Hanya bisa memunculkan keributan Mengeluh atas semua kekacauan Tidak sadar itu yang mereka ciptakan Entah di mana mereka menaruh pikiran Hubungan dua orang harus bergandengan Berdua ada untuk saling menguatkan Seperti yang terus kita lakukan Perlahan menyingkirkan setiap halangan Hubungan dibentuk atas kecintaan Bukan untuk menciptakan setumpuk keluhan Apa lagi bertubi-tubi kemarahan Dan segudang kebencian Gunakan akal pikiran

Renungan Kemarin Sore

Hujan kemarin sore membuat kepalaku dibanjiri pemikiran-pemikiran tentang apa yang telah kita lalui bersama. Di bawah payung yang kugenggam, di atas jalanan yang tergenang, di tengah jalan yang kebahasan, aku berdiri. Beberapa kali mobil-mobil sialan itu menyambar genangan hingga diriku kebasahan, kedinginan. Namun yang terjadi adalah sudut bibir kiri dan kananku malah beranjak naik. Itu karena isi kepalaku dipenuhi tawa manismu. Warna demi warna, coretan demi coretan, dan lukisan demi lukisan sudah berhasil kamu pajang di galeri hidupku. Kamu adalah seniman yang mampu menghidupkan siang dan malamku. Seniman yang membuat puluhan gigiku enggan terus-terusan bersembunyi dibalik bibirku, dan ingin memancarkan pesonanya dihadapanmu. Kamulah senimanku. Aku masih berdiri, masih menikmati banjir di dalam kepala, dan masih tersenyum. Hujan juga enggan berhenti. Dia tau jika aku masih menikmati tetesan-tetesan yang menimbulkan kenangan. Tidak peduli tubuh tumbang dan kelelahan. Karena

Runyam

Kamu datang dengan wajah ditekuk Hari kian memburuk Hati serasa tertusuk Seperti telah dikutuk Lukisan senyum warna-warnimu menguap Terbang ke langit seperti asap Tajam matamu menatap Mulutku menggagap Aku tertunduk diam Di kepala terdengar keriuhan Mendung dan petir di pikiran Lalu basah diguyur hujan Aku kedinginan Tergeletaklah dengan nyaman di ranjang Pejamkan pandangan, dan renungkan Hari-hari kita ke belakang Coba dihancurkan ketegangan Pertekengkaran Saling mendiamkan kelelahan Cinta mulai diabaikan Dua orang yang selalu berjuang Dilarang kalah di medan perang Memori dua tahun ke belakang Tidak akan rusak diterjang pedang Pinjami aku jemarimu Dan sebutir komposisi senyum di bibirmu Kuatkan geggamanmu Untuk menghajar masalah satu-satu

Tentang Pria dan Apa-apa

Jantung yang cuma satu-satunya itu menggelinding. Lalu remuk dilindas truk. Malam itu jalanan sangat ramai. Tapi sungguh tidak ada apa-apanya dibanding isi kepala pria itu. Isi kepalanya berseteru hebat, sampai terpecah menjadi dua kubu. Kita sebut saja Kubu Kanan dan Kiri agar lebih mudah mengingatnya. Kata "apa-apa" yang keluar dari mulut wanita yang duduk di jok belakang sepeda motornya menimbulkan perdebatan di otak sang pria. Kubu Kanan begitu polos mempercayainya. Kubu Kiri terlalu kritis menentangnya. Pria itu termenung di antaranya. Sakit kepala. Luka lama yang sudah dipendam dalam-dalam, kembali infeksi menimbulkan nyeri. Prasangka demi prasangka bangkit dari kubur. Dalam sekejap tumbuh subur. Siap disayur. Keributan dua kubu sempat mereda, saat si pria kehilangan kata-kata. Jalanan masih sangat ramai, tapi dia tidak bisa mendengar apa-apa. Selain "apa-apa" yang diputar ulang ribuan kali oleh kepalanya. Air mata tertahan di bendun

Tolol

Jika seseorang yang setiap malam suka sekali berlama-lama menatap fotomu, mengajak(foto)mu bicara dan mencium keningmu (baca: layar henponnya) lalu tersenyum bahagia sebelum tidur dianggap tolol. Maka aku bangga menjadi orang paling tolol sedunia.

Kenangan Jok Belakang

Cuma mulustrasi, motorku tidak semewah ini. Gerimis kecil dan cahaya remang-remang menemaniku dalam perjalanan pulang berkendara sambil basah-basahan. Tidak sengaja terhirup sisa racun kendaraan yang bercampur wewangian khas hujan. Kutarik napas panjang lalu mengarahkan pandangan ke jok belakang melalui kaca spion yang juga kebasahan. Kombinasi apik antara hujan dan jok belakang menghasilkan aroma kenangan kamu yang kuhirup sampai tersenyum gila sendirian.

Menampar Hingga Sadar

Hari ini, yang datangnya setahun sekali. Hari di mana kamu harus ditampar sampai babak belur supaya kamu bangun. Tengoklah ke jalanan kendaraan tersentak, bergerak dengan tersendat-sendat dan ada saja bapak-bapak yang mengamuk karena mobil yang dikendarainya terserempet bajaj hingga lecet. Padahal ini masih pagi beberapa ayam saja masih dalam mimpi. Coba nyalakan televisimu lalu tonton tayangan berita selama 30 menit. Berita pemerkosaan, pejabat korupsi, dan kasus pencurian sendal rajin sekali mengotori udara pagi setiap harinya Padahal pagi begitu tenang. Atau cobalah sekali lagi arahkan pandanganmu ke jalan Beberapa orang tidur beralaskan papan dan beberapa lainnya sedang berhayal jadi mapan. Harusnya semua itu membuatmu sadar: Hidup semakin keras dan beban yang kamu pikul semakin berat. Sadarkah bahu yang rapuh itu mungkin akan patah jika dipaksa mengangkat beban sebegitu besar? Karena itu aku berharap kamu diberi kekuatan.

Diktator di Kepala

Tentang rindu yang seringkali membuat gelisah. Di kepala yang sumpek ini banyak pemikiran berlalu-lalang Bergonta-ganti tanpa ada yang bisa diam Kecuali keinginan untuk bertemu kamu. Terus-terusan meneror hingga mendominasi Dan memimpin pemerintahan seperti seorang diktator Yang apa maunya harus segera dituruti. Tapi keadaan kita saat ini adalah seorang pembelot Yang bangga menjadi sosok pejuang anti-pemerintah Dan dengan tegas tidak mau ikut apa maunya. Aku cuma bisa pasrah Tidak bisa bertemu kamu.

Sedikit Mengingatkan

Bunga mawar yang dipetik dari penggalan namamu menjadi permulaan. Aku hadirkan di hadapanmu, pertanda bahwa aku siap berpetualang bersamamu. Aku beranikan diri untuk menyentuh jemarimu, dan menggenggamnya. Tanganku mendingin, lalu bergetar. Jantungku sudah duluan jatuh ke lantai, menggelinding menjauhi sumber getaran yang membuat berdebar-debar hingga lupa caranya berbicara. Betapa groginya aku saat menyatakan isi kepalaku yang sudah kusut, dua tahun lalu. Seketika yang ada dalam hidup seperti hanya ada rasa bahagia saja. Sampai akhirnya kita harus bertengkar hebat dengan topik yang super monoton: tentang mantan, dan masa lalumu. Orang yang kamu kira cerdas ini ternyata lebih idiot dari keledai yang isi kepalanya hanyalah tumpukan jerami dan struk belanja dari Indromaret. Terus saja mengungkit hal yang sudah terjadi dan tidak bisa diubah. Sebenarnya mauku hanya satu, yaitu kejujuran darimu akan semuanya. Tapi kamu tidak seterbuka itu, dan aku tidak

Hujan dan Petir di Kepalamu

Mendiamkan bukan berarti tidak peduli, apa lagi membenci. Aku hanya ingin memberimu ruang untuk menenangkan diri, menyadari apa yang tidak beres dalam diri agar kita mampu untuk sama-sama memperbaiki. Hujan dari langit tadi sore, dan petir-petir yang menyambar pikiranmu telah membuat kita dibanjiri emosi. Kejadian hari ini sungguh di luar ekspektasi. Rencana yang telah kita susun berakhir jadi sekadar wacana. Alam tak memberi restu untuk tubuh kita bertemu. Hanya kepala kita yang bertemu, saling membenturkan ego karena masing-masing telah dikecewakan oleh harapannya sendiri. Sebetulnya aku sama sekali tidak keberatan jika kita lagi-lagi gagal bertemu. Itu biasa buatku, dan sama sekali tidak membebani. Yang membuatku termenung adalah ketika perempuanku telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri, lalu melampiaskan kekesalannya padaku. Aku minta maaf jika aku adalah satu dari sekian faktor perusak ketenangan hidupmu hari ini. Aku mengatakan "jika" karena aku

Lelah Saja Kalah

Ketika hari semakin lelah, bersama tubuh yang kuhempaskan ke atas ranjang, sambil memejamkan mata, terlintas bayangan senyum bahagiamu yang terpantul dengan sangat nyata. Dalam kelelahan, dengan sedikit tenaga yang dipunya, diri ini masih aktif mengingat gerak-gerik menggemaskanmu. Lelah saja kalah. Lelah bukan pantangan untuk tidak mencintaimu. Dalam lelah yang terkalahkan cintamu, aku masih mampu menciptakan puisi. Puisi untuk kau nikmati Bersama cintaku yang terus ada hingga nanti.

Rutinitas Malam

Pada malam yang dingin dan dipenuhi nyamuk-nyamuk kelaparan, seorang pria terbaring di atas ranjang. Kepala pria itu berdenyut. Matanya sayu, perlahan-lahan terbenam. Tubuhnya diselimuti lelah. Meski setiap malam selalu berada dalam keadaan yang hampir mati, pria itu hampir selalu menyempatkan diri untuk memikirkan satu hal: apa pun tentang kamu.

Hanya Sebuah Maaf

Sebelum membaca tulisan ini, posisikan dirimu dalam keadaan paling rileks dan nyaman; entah itu sambil duduk, tiduran, atau jungkir balik di atas lemari, terserah. Jika ingin lebih rileks, cobalah untuk membaca tulisan ini sambil mendengarkan lagu dari Justin Bieber yang berjudul Purpose . Aku rasa alunannya cocok untuk menjadi teman membacamu. Tidak usah memperhatikan liriknya, karena sepertinya sama sekali tidak nyambung dengan isi dari tulisan ini. Membuat kesalahan, meminta maaf, lalu kembali lagi ke awal. Mungkin siklus menyebalkan ini sudah sangat bosan kamu alami selama kamu berbagi kehidupan denganku. Tapi tak pernah bosan aku mengingatkanmu, aku bukanlah sosok pria sempurna yang terdeskripsi indah dalam berbagai dongeng klasik atau pun dalam drama romantis yang pernah kamu tonton.  Aku adalah aku. Aku adalah benar. Aku juga adalah salah. Aku adalah cinta. Aku juga adalah patah hati. Aku ada di antara semuanya. Aku bisa jadi alasan mengapa kamu bisa terseny

Patah Hati

Definisi patah hati itu sendiri sebenarnya adalah metafora yang paling sering digunakan saat merasakan sakit emosional yang diderita akibat kehilangan sesuatu yang dicinta (source : Wikipedia). Walaupun hanya sebatas metafora saja, rasanya campur aduk dan sangat mendalam. Pertanyaanya, kapan waktu untuk patah hati? Saat kamu dan usahamu sudah tidak lagi dihargai, kamu boleh patah hati. Saat kamu dan dirinya sudah tidak lagi bisa mengerti satu sama lain, kamu boleh patah hati. Saat kamu sudah lelah dengan hubungan yang hanya bergerak mundur, kamu boleh patah hati. Saat kamu tidak lagi menemukan apa yang selama ini kamu cari, kamu boleh patah hati. Saat kamu, pada akhirnya, memutuskan hubungan dengan yang kamu cintai, kamu boleh patah hati. Hingga saat kamu merindukan semuanya itu, kamu juga boleh patah hati. Ber-patah-hati-lah kamu.  Rasakanlah sakit, kecewa, sedih, marah, dan benci. Rasakanlah supaya kamu tahu bagaimana rasanya patah hati.