Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2015

Kamu Adalah

Kamu adalah rumah sederhana, tempat yang paling kurindukan untuk segera pulang dan mencari perlindungan setelah lelah berjuang menyusuri kehidupan. Kamu adalah jembatan, yang mampu mempermudah langkahku untuk melewati hal-hal yang sulit untuk diarungi sendirian. Kamu adalah sebuah pena, dan aku adalah kumpulan kertas kosong yang tersusun rapi, yang siap kamu corat-coret dengan berbagai cerita tentang kita. Kamu adalah pemeran utama, aku adalah lawan mainmu, dan dunia adalah penontonnya. Biarkan dunia menyaksikan sampai bosan, karena film yang kita mainkan tak memiliki akhir. Kamu adalah gitaris handal, dan aku adalah sebuah gitar murah yang mampu kamu sulap menjadi pengalun irama musik terindah yang pernah terdengar. Kamu adalah proklamator kemerdekaan, dan aku adalah rakyat yang telah berpuluh-puluh tahun menunggu engkau memerdekakan diriku untuk menyayangimu selama-lamanya. Kamu adalah selimut, mampu melindungi di saat terlemahku dengan dekap hangatmu.

Aku Suka Ketika...

Aku suka ketika menatapmu. Saat kedua bola mataku memfokuskan seluruh pandangannya pada wajahmu. Saat jantungku mulai berdetak secara abnormal. Aku suka ketika tenggelam. Tenggelam dalam tatapanmu. Tenggelam dalam kolam berisi kupu-kupu yang siap mengelitiki seluruh tubuhku. Aku suka ketika duduk di samping pak kusir yang berwujud kamu dengan kereta kudanya yang siap membawaku menyusuri jalan kebahagiaan. Tak perlu menunggu sampai ke tujuan untuk bahagia. Karena kebahagiaan selalu berdampingan denganmu. Aku suka ketika tingkahku adalah kuas dan cat dan wajahmu adalah kanvas yang paling sempurna untuk aku lukiskan sebuah senyuman paling bahagia. Aku suka ketika menengadahkan kedua tanganku kepada-Nya Menyebut namamu dan memohon dengan kesungguhan Agar harapan-harapanku padamu tak hanya berbuah angan atau hanya menyisakan kenangan. Aku suka ketika berbaring di tempat tidur lalu menatap langit-langit kamar. Membayangkan kenangan dan

Penyesalan Seorang Pria

Malam ini terasa begitu berat. Jarum jam berdetak sangat lambat. Tak sebanding dengan jantungku yang terasa seperti berhenti berdetak, layaknya orang sekarat. Aku tak tau betul bagaimana rasanya sekarat, apa lagi sampai jantung berhenti berdetak. Namun, aku cukup paham bagaimana rasanya memiliki hati yang patah. Hati priamu kembali patah, karena ulahnya sendiri. Entah apakah masih pantas aku menyebut diriku sebagai priamu. Yang jelas, sampai saat kamu membaca tulisan ini pun aku masih sangat bangga menjadi sesosok manusia yang melengkapi hidupmu. Atau justru kehadiranku malah merusak duniamu? Kejadian malam ini menambah catatan burukku di buku berjudul kekecewaan. Satu kalimat yang kamu update di timeline akun media sosialmu kembali menampar pikiranku. Sungguh kesalahan yang sangat besar karena aku tidak peka terhadap permintaanmu. Harusnya aku memiliki perasaan yang mampu menangkap segala jenis rasa seperti lidah. Harusnya aku bertindak cepat atas k