Skip to main content

Posts

Melangkah

Melangkah. Tak peduli apa yang akan dihadapi di depan, teruslah melangkah. Entah itu jalanan mulus beraspal, tanjakan dengan bebatuan terjal, tanah berlumpur yang basah dan licin, turunan yang curam, tak usah dipedulikan, tetaplah melangkah. Entah yang ada di depan sana hangat dan terang benderang, atau dingin dan gelap gulita, lanjutlah melangkah. Bukan berarti tidak boleh berhenti. Jika lelah, menepilah. Istirahatkan tubuh dan pikiran. Jika sudah, kembalilah melangkah. Juga bukan berarti tidak boleh menengok ke belakang. Jika ingin menyerah, lihatlah jauh ke belakang. Lihat sudah seberapa jauh diri ini melangkah untuk sampai di titik ini. Lihat segala kesulitan yang telah berhasil dilalui untuk berada di posisi sekarang. Setelah melihat ke belakang, patutlah berbangga diri. Untuk sampai menjadi seperti saat ini, bukan perkara gampang. Berbanggalah. Hidup adalah perjalanan. Derita pada akhirnya akan menjadi cerita, begitu pula dengan cinta. Hidupi perjalanan, jalani kehidupan. Entah n
Recent posts

Mengerti

Malam ini entah bagaimana kedua mataku masih menyala terang, padahal tubuhku telah terasa lelah, ingin rasanya segera terlelap. Mungkin karena sebelumnya aku menghabiskan hari dengan tidur terlalu lama. Sekarang yang aku lakukan hanya menatap timeline Twitter Sembari mendengarkan playlist random berisi lagu-lagu berbahasa Indonesia. Jarang sekali aku mendengarkan musik Indonesia, biasanya hari-hariku selalu diisi oleh para penembang dari Jepang. Sampai tiba-tiba lantunan indah dengan lirik puitis dari Yura Yunita mampir ke telinga ini. "Tenang, tenang!" ucap Teh Yura seraya bernada. Namun, bukan itu yang membuatku memulai tulisan ini, tetapi penggalan lirik di awal lagu, "Dialog dini hari Kepada diriku sendiri Tak bisa ku tertidur lagi Melayang pikirku tak pasti" Sebuah kegiatan overthinking yang dibalut nada-nada harmonis ternyata bisa menghasilkan lantunan semerdu itu. Padahal Teh Yura bisa dengan mudah mengatakan, "Nggak bisa tidur nih gara-gara overthink

The Wound Is Still Here, But So Am I

Jika lewat tengah malam pesan berisikan link menuju blog ini muncul di Whatsapp-mu, isinya sudah hampir pasti bisa ditebak, lagi-lagi tentang seorang pria yang masih terjebak pada ingatan masa lalu beserta seluruh lukanya yang masih saja tak kunjung sembuh. Beberapa sudah membaik, tetapi sebagian besar sepertinya belum, sehingga seperti biasa ia akan menuangkan segala memar yang tersisa untuk kamu dengarkan. Jadi, begini. Tidak tepat jika menyimpulkan bahwa aku baik-baik saja hanya karena aku terlihat baik-baik saja. Tak jarang sebuah kalimat, aroma, situasi, menarik diriku kembali ke masa kelam itu. Tak terkecuali saat bersamamu, di tengah-tengah momen menyenangkan, rasa sesak di dada ini bisa muncul tiba-tiba secepat kilat dan mengendap selama berhari-hari. Menceritakannya secara langsung tentu saja akan merusak momennya, membuat perasaanmu berubah jadi tidak enak, membuat hubungan kita terasa tidak nyaman, maka karena tidak mau itu semua terjadi, aku memilih diam dan memendamnya sen

Dua Puluh Lima

Tepat di hari ini, sembilan kali sudah aku turut berbahagia merayakan hari kelahiranmu. Menemanimu sejak usia belasan, mengakhiri masa remajamu, hingga kini dirimu memasuki fase dewasa muda. Selamat datang di usia seperempat abad, di mana kamu semakin dituntut untuk mengambil keputusan yang matang. Bukan berarti tidak boleh gagal, tetapi mesti lebih hati-hati lagi dalam mengambil keputusan. Belajar lebih giat lagi untuk tenang dan mengenali diri sendiri lebih dalam. Jika kebingungan, tak perlu risau, akan selalu ada aku di sisimu untuk diajak bertukar pikiran. Dua puluh lima tahun menghirup udara bebas (beserta polusi yang menyertainya) bukan perkara gampang. Beribu-ribu masalah telah berhasil kamu lalui. Untuk itu, berilah selamat kepada dirimu sendiri atas segala daya dan upaya yang berhasil kamu torehkan di sepanjang perjalanan hidupmu, hingga sampai di titik ini. Aku turut berbangga padamu, menyaksikanmu menjadi sosok yang hebat dan kuat merupakan hal yang aku syukuri. Melihatmu be

Looking Back, Looking Ahead

Pasti sudah lama sekali sejak terakhir kali kamu mampir ke sini. Kini, kita berjumpa lagi. Tak lama lagi kita memasuki tahun ke sembilan sejak pertama kali kita memutuskan untuk berkomitmen. Sudah lama sekali, ya? Merawat dan menghidupi hubungan yang berjalan selama ini, jelas bukan perkara mudah. Melelahkan, terkadang menjemukan. Sempat pula gagal, sempat tak lagi bermakna karena kamu memilih untuk mengabaikan, sempat tak lagi hangat, sempat tak lagi menerangi karena api yang susah payah kita nyalakan seketika kamu padamkan. Tapi tidak semua adalah salahmu, sebagian kecil adalah salahku juga karena membiarkan begitu saja sebuah percikan kecil yang akhirnya justru membumi hanguskan segala usaha yang telah kita bangun sejak hari pertama kita memulai segalanya. Kita mencoba lagi, memulai dari awal kembali, menanam kembali yang telah tumbang, menyiram kembali yang telah layu, hingga akhirnya sampai di titik ini, di mana semua telah berjalan baik kembali. Tapi bukan berarti semuanya telah

Live in The Moment

Sabtu lalu kami menonton Suzume no Tojimari, ini berarti sudah kedua kalinya tunanganku menuruti naluri jejepanganku untuk menyaksikan animasi Jepang di layar lebar. Ketika pasangan tidak hanya mendukung, tetapi juga bergabung untuk mengalami hobi yang kita sukai, perasaan senang yang hadir tentu tidak biasa, patut disyukuri. Tidak aneh jika Makoto Shinkai menghadirkan keajaiban dari film animasi yang disutradarainya, aku sudah mempersiapkan diri untuk takjub sejak jauh hari sebelum film ini mengumumkan jadwal tayangnya. Benar saja, aku takjub. Bukan hanya karena visual dan cerita yang manis, melainkan juga karena ada kutipan menarik dalam film Suzume dari pria yang dikutuk menjadi kursi anak kecil, tapi aku lupa persisnya, yang jelas ucapannya seketika menamparku keras. Intinya: "Live in the moment." Aku seringkali lupa untuk hidup di hari ini, di momen ini, di mana aku dikelilingi oleh orang-orang yang aku sayangi. Ingatanku masih saja rutin terjebak di akhir 2019 dan awal

Menu Hari Ini

Kedua lenganmu bersandar di dadaku, menyilang melewati kedua bahuku. Kepalamu bertumpu pada sisi bahu sebelah kanan, bersamaan dengan tubuhmu yang menghantam punggungku, melompat dari arah belakang tanpa aba-aba terlebih dahulu. Adegan gendong-menggendong yang tidak direncanakan terpaksa terjadi. Diakhiri dengan gelak tawa dari kita berdua, tentu saja. Rambut lembutmu terurai indah bersentuhan dengan pipiku, memunculkan wewangian melewati indra penciuman, membuat dadaku berdegup lebih cepat dari semestinya, membuat napasku tersengal-sengal dengan ritme berantakan. Semudah itu dirimu mengusir pergi segala kerisauan dan keriuhan yang tadinya sempat hinggap lama di dalam kepala. Kehadiranmu adalah kekacauan, seperti seakan seluruh sel dan organ di dalam tubuh ini lupa apa tugasnya. Mungkin ini adalah satu-satunya kekacauan yang dapat aku nikmati dan tidak akan pernah aku sesali. Ledakan kebahagiaan yang hangat, dibumbui rasa gugup yang pekat, begitu yang tertulis pada lembaran menu jatuh