Skip to main content

Posts

Showing posts from 2022

Menu Hari Ini

Kedua lenganmu bersandar di dadaku, menyilang melewati kedua bahuku. Kepalamu bertumpu pada sisi bahu sebelah kanan, bersamaan dengan tubuhmu yang menghantam punggungku, melompat dari arah belakang tanpa aba-aba terlebih dahulu. Adegan gendong-menggendong yang tidak direncanakan terpaksa terjadi. Diakhiri dengan gelak tawa dari kita berdua, tentu saja. Rambut lembutmu terurai indah bersentuhan dengan pipiku, memunculkan wewangian melewati indra penciuman, membuat dadaku berdegup lebih cepat dari semestinya, membuat napasku tersengal-sengal dengan ritme berantakan. Semudah itu dirimu mengusir pergi segala kerisauan dan keriuhan yang tadinya sempat hinggap lama di dalam kepala. Kehadiranmu adalah kekacauan, seperti seakan seluruh sel dan organ di dalam tubuh ini lupa apa tugasnya. Mungkin ini adalah satu-satunya kekacauan yang dapat aku nikmati dan tidak akan pernah aku sesali. Ledakan kebahagiaan yang hangat, dibumbui rasa gugup yang pekat, begitu yang tertulis pada lembaran menu jatuh

Jika Pada Hari Itu

Jika pada hari itu aku benar-benar mati. Tidak akan pernah ada lagi kenangan menyenangkan yang bisa kita ciptakan. Tidak akan pernah ada lagi masakan enak yang kita coba rasakan.  Tidak akan pernah ada lagi rute perjalanan aneh yang kita wujudkan.  Jika pada hari itu aku benar-benar sudah mati.  Apakah lantas menjadi akhir bahagia yang aku mau? Apakah mungkin kehidupanmu berjalan lebih baik tanpa ada lagi kehadiranku? Ataukah memang duniamu akan baik-baik saja tanpa hadirnya aku? Seperti pada hari di mana kamu belum pernah mengenal siapa aku. Jika pada hari itu. Keputusasaanku lebih kuat daripada kewarasan dan akal sehat.  Mengakhiri perjalanan panjangku dengan mudah dan sesaat.  Apakah itu gambaran hidup yang selalu aku maknai. Bahwa aku selama ini telah keliru mencintai.  Jika pada malam itu.  Malam tidak berjalan seperti malam itu.  Telepon terakhir dariku tidak pernah diangkat olehmu.  Kata-kata ajaib tidak keluar dari mulutmu yang mengurungkan niatku. Hari ini aku sedang berbaring

Seperti Terakhir Kali

Takut akan sebuah kehilangan merupakan reaksi yang wajar untuk dirasakan. Kebahagiaan atas kebersamaan yang selama ini terjalin, bisa saja tiba-tiba lenyap ditelan bumi, menghilang tanpa pernah bisa kembali. Segala canda tawa yang pernah tercipta, hanya bisa dikenang sebagai memori yang pernah terjadi. Kehilangan, sebesar apa pun kamu membencinya, pada saatnya ia akan datang juga, tanpa pernah menunggu kita siap untuk menghadapinya. Menghargai dan menghidupi setiap pertemuan, hanya itu yang bisa dilakukan agar di masa depan tidak mesti memikul banyak penyesalan. Menganggap setiap pertemuan sebagai kemungkinan bahwa itu adalah pertemuan terakhir, membuat pertemuan itu menjadi semakin bermakna. Mungkin itu senyum terakhir yang akan aku lihat, mungkin itu tawa yang terakhir aku dengar, mungkin itu tangis terakhir yang akan membasahi pundakku, mungkin itu pelukan terakhir yang menghangatkan hariku. Tidak ada yang tau, juga tidak ada yang mampu memastikan bahwa hidup ini akan selalu berjala

Tentang Gadis Kecil

Hari ini aku ingin bercerita tentang gadis kecil, seperti ini ceritanya.  Seorang gadis kecil dengan segala mimpi besar di kepalanya, pada hari ini, sekali lagi, sedang menapaki satu langkah kakinya ke atas menuju tingkat kedewasaan selanjutnya. Sebuah tingkat yang lebih sulit untuk dihidupi, tetapi mesti dijalani.  Gadis kecil itu mampu melompati segala lubang yang pernah menghadangnya dengan percaya diri. Pernah beberapa kali terperosok, entah hanya berupa lubang dangkal, atau sampai terjerembab dan terjebak di lubang yang amat dalam, tetapi gadis kecil itu pada akhirnya selalu berhasil berdiri tegak dan melompat lebih tinggi. Kata menyerah seperti tidak ada di kamus kehidupannya, setidaknya itu yang aku lihat dari dirinya. Biarpun kakinya hanya mampu maju selangkah karena diterjang lelah, tetapi ia selalu menolak dijajah rasa kalah. Keraguan, ketakutan, rasa lelah, dan frustrasi, tak jarang bersembunyi di balik senyum manisnya. Semua orang pasti pernah merasakan perasaan tidak menye

From Eight to Infinity

Kedua telapak tangan dingin gemetar, menggenggam setangkai bunga mawar merah merona terbungkus plastik bening yang sudah dipersiapkan sejak semalam sebelumnya. Ada rasa khawatir jika bunganya ternyata tak sengaja patah di dalam tas sekolah, juga khawatir jika ungkapan jujur tentang perasaanku padamu ternyata hanya berjalan satu arah. Masih sangat jelas terasa di ingatan; sunyi ruang kelas di lantai atas, angin yang berhembus pelan bersama kipas di langit-langit kelas, meja dan kursi panjang dari kayu, juga sinar mentari yang cukup terik di siang itu, tapi kupikir tidak cukup terik untuk menghangatkan jemariku yang masih saja kedinginan kala itu. Bahkan sebuah jawaban "iya" darimu saja tak mampu meredamnya. Namun, tentu saja hatiku rasanya hangat sekali, karena momen itu adalah pintu yang membuka perjalanan kita untuk membentangkan layar sebagai dua orang yang sepasang. Kejadian delapan tahun lalu itulah, yang membuatku hadir di hadapanmu, hari ini. Delapan kali berkesempatan

Momen Biasa Saja

Sebuah momen yang mungkin dianggap biasa saja Pertemuan selepas jam kantor Menyantap nasi goreng di pinggir jalan Menikmati hembusan angin malam Bermacet-macetan bersama para pekerja kerah biru lainnya Duduk berdua di atas motor tuaku Biasa saja, tak ada gemerlap Tak ada kejutan buket bunga dan boneka Hanya redam redup lampu ibukota Namun, jarak dan lama tanpa pertemuan membuat segalanya dirindukan Jemari lembut mungil melingkari pinggang Bersamaan dengan dagu yang ditopang bahu Juga sesekali helm di kepalamu dan kepalaku berbenturan kecil Menimbulkan sedikit suara seperti diketuk, tertutup oleh banyak suara tawa kita berdua Terlihat biasa saja Tak ada yang istimewa Ya, mungkin pendapat itu ada benarnya Bagi mereka yang hanya melihatnya, tapi tidak pernah mengalaminya sendiri Cobalah sesekali merasakan, maka kamu akan merindukan Seperti aku merindukan untuk mengulangi pengalaman menyenangkan itu lagi Bersamamu

Another Word of Love

Banyak hal darimu yang menjadi favoritku, tetapi jika itu adalah tentang bagaimana aku dapat memastikan bahwa hidupku akan berjalan dengan baik-baik saja, maka kepedulianmu adalah hal yang paling kufavoritkan. Melangkahkan kaki dari satu hari ke hari berikutnya, dari satu masalah ke masalah lainnnya, kamu pasti sangat memahami jika itu bukan perkara mudah. Melelahkan, jelas. Telah hidup lebih dari dua puluh tahun membuat kita mengerti bahwa perkataanku barusan adalah benar adanya. Tak jarang kita terjatuh, tak sedikit kita terluka, entah itu yang ringan atau hebat. Ada yang terasa memalukan, memilukan, hingga menyakitkan. Ada yang begitu saja hilang, sampai yang membekas amat dalam. Semua itu tak terhindarkan selama perjalanan kita belum hendak terhenti. Lantas, adakah yang dapat menguatkan? Jika ada, maka aku akan menyimpulkan bahwa itu adalah kepedulian. Kepedulianmu, menguatkanku. Semudah menanyakan kabarku di pagi hari, sesederhana mengingatkanku untuk makan siang, seringan mem

Lalu

Berat di pundak, disandari beban masa lalu Berat di kaki, diseret ke masa lalu Berat di leher, dicekik yang tak pernah lalu Berat di dada, disusupi duri tajam dari yang tak kunjung berlalu Lalu, berlalu, dilalui, melalui, terlalu, keterlaluan Sebagaimana yang lalu, seharusnya ya dilalui Sebagaimana yang sudah, seharusnya ya disudahi Sebagaimana yang ludah, seharusnya ya diludahi Sudah lewat, sudah lampau Habis, selesai Memang sempat membuat kacau Yang terpenting telah usai Tak akan pernah kering jikalau dikorek-korek kembali Tak akan pernah diterima jika berharap tak pernah terjadi Relakan, biarkan berlalu dan terbang bersama debu Masa depan bahagia di seberang sana sedang duduk manis menunggumu Pasti berlalu, pasti itu.

Endeavor

Entah sudah berapa puluh kali, keadaan seperti ini terulang kembali. Ditarik paksa menuju memori kelam beberapa tahun silam. Tidak, aku tidak berusaha menggalinya sendiri, ia datang begitu saja tanpa permisi. Membuat dadaku terasa sesak lagi dan lagi. Aku sudah memaafkan. Aku sudah menerima, juga merelakan. Tetapi selalu ada seperti kerikil yang mengganjal setiap langkah kecilku, sementara batu-batu besar yang menghadang, kuyakin seluruhnya sudah berhasil aku lewati. Mungkin kamu sudah lelah mendengarkan, aku juga sudah lelah merasakan. Tidak ada siapa pun di dunia ini yang ingin mengalami hal serupa, begitu juga diriku. Setidaknya langkah kakiku ini masih mengarah ke depan, walaupun pandanganku masih sering menoleh ke belakang. Mimpi buruk yang tak berkesudahan, siapa pun tolong bangunkan. Sudah cukup bagiku ditampar keadaan. Atau jangan-jangan aku sebetulnya sudah sepenuhnya sadar? Sadar bahwa inilah kenyataan yang harus kuhidupi, bahwa seperti inilah hidupku digariskan, tidak bisa l

Sebuah Upaya untuk Bangkit Kembali

Kamu yang paling mengerti betapa kuat keinginanku untuk menyerah Beberapa kali masih sempat terbesit di kepala Rasa sakit yang tak pernah berkesudahan Kukira aku sudah sepenuhnya menerima Tapi ada kalanya nyeri di dada, yang rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum itu, datang lagi Tak jarang datang berulang kali dalam sehari Juga di saat aku hendak menyelesaikan kalimat ini Aku masih di sini, menegakkan kepala, menguatkan kaki Terlalu keras berusaha menghindari Terlalu memaksakan diri untuk lari Jujur, aku tak selalu kuat menghadapi Sering kali aku bersembunyi Aku masih di sini, membusungkan dada, jemari tangan terkepal di kedua sisi Aku hanya ingin dihargai Aku hanya ingin dicintai Aku hanya ingin dilihat sebagai manusia, yang punya hati Sebagaimana bekas luka di lututku yang tak pernah menghilang Mungkin di hati ini juga sama Setidaknya bekas luka di lututku ini tak pernah terasa nyeri lagi Semoga apa yang ada di hati ini juga sama, meski entah kapan datangnya Berjanjilah pada dirimu sen

Remedi

Ketika dunia mengerucut sebatas ruang kita berdua Tak ada sudut ruang yang tak nyaman Seluruh dunia kita jelajahi berulang kali Dengan tawa dan cinta yang sama Dengan cerita yang selalu baru Mengimpikan berdua bersamamu kuakan menua Bernostalgia, menghidupi jutaan kenangan menyenangkan Terbayang senyummu hadir tak terkendali Pipimu dan jemariku hadir bercengkrama Mencubitmu lembut di tengah obrolan seru  Lelahmu lelahku enggan bersua Kala bahagia kita mengusir kesuraman Tak perlu lagi ada yang disesali Saat kita kini masih bertumbuh bersama Di balik itu tak ada keputusan keliru Setiap orang berhak atas kesempatan kedua Kesempatan mengembalikan kebahagiaan, kesempatan menebus kemuraman Tak usah disesali berkali-kali Rasa sakit usang telah menjadi luka lama Kini hanya harus lihat ke depan, hadirkan langkah demi langkah yang baru Sudahlah, perlahan relakan semua Segala luka yang telah lalu, kita semayamkan Tempaan rasa sakit menghadirkan kita kembali Bergandeng tangan, mencipta cinta yang

Langitku Tak Selalu Biru

Sore itu kebetulan aku bisa pulang sebelum matahari terbenam, tetapi sesaat setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung tempatku bekerja, gemercik air tiba-tiba datang dari arah langit, jatuh tepat membasahi wajahku. Sore itu hujan turun tanpa aba-aba, membuat langit yang tadinya biru seketika menuju kelabu. Padahal sebelumnya langit cerah sejak pagi, dan karena itu tentu saja aku lupa membawa jas hujan, tak sempat memikirkannya bahkan, langit yang terlampau cerah membuatku mengabaikannya. Begitu kira-kira gambaran tentang diriku yang naif dan ceroboh, yang mengira jika detik ini langit cerah membiru, maka sembilan jam kemudian langit akan tetap biru. Seperti diriku yang secara naif tak pernah berhenti mengharapkanmu untuk selalu membuat langitku terlukis biru. Makan malam sendirian dengan menu sate padang di kedai dekat rumah, melatih otot punggung dan lengan di gym setelahnya, kemudian pulang ke rumah untuk membersihkan diri, dan kembali melanjutkan episode anime yang terakhir kut

A Short Letter to My Beloved Hardworking Girl

Hei, si pekerja keras! Melelahkan jelas, jika pundak mungilmu itu harus memangku ribuan harapan dan ekspektasi dari orang tua. Berbaringlah, aku mengerti lelahmu. Renggangkan punggung dan jari-jemarimu, santap dengan lahap sajian makan malammu, kamu berhak mendapatkan istirahat yang layak atas kerja kerasmu hari ini. Menjadi anak perempuan pertama dengan berbagai tuntutan yang ada, bukan tugas mudah tentu saja. Namun, kamu berhasil menjalaninya dengan baik. Langkah demi langkah kecil yang selama ini kamu lalui, telah melahirkan jiwa besar, yaitu diri kamu hari ini, yang kamu corat-coret wajahnya dengan pensil alis di depan kaca setiap pagi. Memang bukan tanpa halangan dan batas, berkali-kali kamu terjatuh, berkali-kali kamu tersesat karena salah arah, berkali-kali kamu berteriak ingin menyerah dan berhenti saja. Tapi nyatanya, jejak langkahmu masih ada dan dapat ditelusuri dengan mudah. Bedak dan keringat yang menyelimuti wajah manismu itu jadi saksinya, bagaimana debu dan kotoran di j