Di depan mataku terpampang tampilan Microsoft Word yang didominasi kertas digital berwarna putih, memelas untuk segera diisi. Sebenarnya terlalu banyak yang ingin kutulis. Namun semua menguap ketika jemari tanganku telah berbaring tepat di atas tumpukkan tombol-tombol laptopku. Semua menguap begitu saja. Entah menguap melalui proses apa; mengembun karena kepalaku sudah terlalu lama mendidih; atau mengasap karena kepalaku sudah terlalu lama terbakar. Hal tersisa yang teringat untuk kutulis adalah, aku ingin menyampaikan padamu, bahwa aku, priamu, merindukan keberadaanmu, sedang duduk di sebelahku, lalu melingkari pinggangku dengan kedua lengan lembutmu. Mendekapku. Menyatakan jika kamu mencintaiku dengan bahasa tubuhmu. Dan pasukan kupu-kupu berlarian menghujam perutku. Memukul keras jantungku. Lalu aku membalas pelukanmu. Mendaratkan bibirku pada keningmu. Membalas pesan dari tubuhmu.
Kemudian aku kembali berpikir, apakah sebenarnya aku benar-benar melupakan apa yang hendak kutulis, ataukah aku terlalu sedih untuk menuliskannya? Pemikiran itu pun berlanjut pada kesimpulan bahwa aku benar-benar merindukanmu. Dan aku sangat yakin jika kamu juga merasa demikian. Semua yang menguap itu, sebenarnya hanya tertahan di ujung kepala. Seperti air yang direbus dalam panci yang tertutup, menguap, tapi tidak ke mana-mana.
Tidak terasa aku sudah menulis dua paragraf. Bukan, melainkan tiga paragraf karena ditambah dengan yang satu ini. Tetapi itu tidak cukup, dan tidak akan pernah cukup, untuk menjabarkan betapa aku merindukan sosokmu. Apa lagi untuk mematikan rindu yang tidak pernah berakhir ini. Lagi pula, aku tidak pernah menginginkan rindu ini mati. Sekali pun kita detik ini bertemu, itu hanya untuk menimbulkan rindu-rindu lainnya, untuk menggantikan rindu yang tertumpuk kemarin.
Aku pikir, kadang kita bertindak bodoh. Memperlakukan rindu seperti hal yang menyiksa. Memperlakukannya seperti seharusnya ia tidak pernah hadir dalam hidup kita. Kemudian berusaha untuk melepaskannya semata-mata agar kita terhindar dari hal yang kita anggap sebagai siksaan ini. Mulai sekarang aku mengajakmu untuk mengubah cara pandang. Jadikan rindu sebagai teman. Berdamailah dengannya. Berikan dia tempat untuk tumbuh. Berikan dia kesempatan untuk menunjukkan jika kita saling butuh.
Berikan dia kesempatan untuk menyampaikan bahwa aku mencintaimu.
Sepertinya sudah cukup aku menulis ini. Selanjutnya aku ingin menikmati hari-hariku, di mana aku merindukan sosokmu setiap saat, dan akan terus begitu sampai di hari kita bertemu untuk menumbuhkan rindu-rindu baru lainnya.
Jadi, selamat saling merindu.
Comments
Post a Comment