Bunga mawar yang dipetik dari penggalan namamu menjadi permulaan.
Aku hadirkan di hadapanmu, pertanda bahwa aku siap berpetualang bersamamu.
Aku beranikan diri untuk menyentuh jemarimu, dan menggenggamnya.
Tanganku mendingin, lalu bergetar.
Jantungku sudah duluan jatuh ke lantai, menggelinding menjauhi sumber getaran yang membuat berdebar-debar hingga lupa caranya berbicara.
Betapa groginya aku saat menyatakan isi kepalaku yang sudah kusut, dua tahun lalu.
Seketika yang ada dalam hidup seperti hanya ada rasa bahagia saja.
Sampai akhirnya kita harus bertengkar hebat dengan topik yang super monoton: tentang mantan, dan masa lalumu.
Orang yang kamu kira cerdas ini ternyata lebih idiot dari keledai yang isi kepalanya hanyalah tumpukan jerami dan struk belanja dari Indromaret.
Terus saja mengungkit hal yang sudah terjadi dan tidak bisa diubah.
Sebenarnya mauku hanya satu, yaitu kejujuran darimu akan semuanya.
Tapi kamu tidak seterbuka itu, dan aku tidak selapang itu untuk begitu saja terima.
Aku terus berusaha mendeteksi, sedangkan kamu sibuk bersembunyi.
Kita seperti dua idiot yang tidak paham bahwa masalah bisa selesai dengan komunikasi.
Rasanya sangat lelah ketika harus terus-terusan diterjang badai, namun harus terus dipaksa berjalan.
Saat tiba di persimpangan jalan, sempat terbesit di pikiran untuk berbelok, mengganti tujuan, beristirahat di sebuah kafe dan menghentikan langkahku untuk selamanya.
Aku bosan ketakutan.
Dan duduk berlama-lama sambil menyeruput hangatnya kopi jauh lebih nyaman dibanding harus hujan-hujanan, lalu terkena cipratan kendaraan hingga masuk angin.
Namun aku tetap pada pendirianku dan meneruskan langkah.
Aku sadar jika tidak ada bahagia tanpa usaha.
Dan aku ingin terus mengusahakannya bersamamu.
Hingga badai berhenti dan kita jadi orang pertama yang tersenyum karena melihat pelangi.
Walau badai datang lagi, biar saja. Karena kita akan terus jadi orang pertama yang tersenyum karena melihat pelangi.
***
Kini hampir tahun kedua aku menghabiskan jatah hidup ini bersamamu.
Rasanya badai bukan lagi halangan. Apa lagi kini kita sudah punya jas hujan masing-masing.
Kita bukan batu yang susah diperingati dan baru akan bolong ketika terlalu sering ditetesi air.
Aku dan kamu tidak henti-hentinya belajar dari kesalahan, dan bersedia untuk memperbaikinya kembali.
Maafkan aku yang dulu, yang kebodohannya membuatmu jengkel dan ingin menelan pagar rumahmu.
Kita terus berusaha bersama-sama, ya?
Aaaah, syahdu manis enaaaak dibaca :) hihihi
ReplyDeletekalian haus berusaha dan berjuang bersama-sama ya :)