Jika pada hari itu aku benar-benar mati.
Tidak akan pernah ada lagi kenangan menyenangkan yang bisa kita ciptakan.
Tidak akan pernah ada lagi masakan enak yang kita coba rasakan.
Tidak akan pernah ada lagi rute perjalanan aneh yang kita wujudkan.
Jika pada hari itu aku benar-benar sudah mati.
Apakah lantas menjadi akhir bahagia yang aku mau?
Apakah mungkin kehidupanmu berjalan lebih baik tanpa ada lagi kehadiranku?
Ataukah memang duniamu akan baik-baik saja tanpa hadirnya aku?
Seperti pada hari di mana kamu belum pernah mengenal siapa aku.
Jika pada hari itu.
Keputusasaanku lebih kuat daripada kewarasan dan akal sehat.
Mengakhiri perjalanan panjangku dengan mudah dan sesaat.
Apakah itu gambaran hidup yang selalu aku maknai.
Bahwa aku selama ini telah keliru mencintai.
Jika pada malam itu.
Malam tidak berjalan seperti malam itu.
Telepon terakhir dariku tidak pernah diangkat olehmu.
Kata-kata ajaib tidak keluar dari mulutmu yang mengurungkan niatku.
Hari ini aku sedang berbaring lurus tiga meter di bawah kakimu.
Itu juga jika kamu pernah terpikir untuk datang.
Menghampiri si payah yang mati karena patah hati.
Si bodoh yang kehilangan nyawanya dengan tangannya sendiri.
Karena cintanya dikhianati.
Sekadar masa lalu yang tak mungkin kembali, mereka bilang.
Tak perlu sampai sebegitunya, mereka bilang.
Jika memang semudah itu untuk bersikap biasa saja.
Dipaksa menelan pil pahit bahwa kehadiranku tak pernah berharga.
Lantas untuk apa masih ada?
Jika.
Bersyukur karena itu hanya berupa kata jika.
Sebuah pengandaian yang tidak akan pernah terjadi.
Kurasa bukan sebuah keputusan buruk jika.
Kehidupan ini nyatanya masih terus terjadi.
Beruntung tak pernah ada jika.
Aku masih ada.
Tatapanku nyata.
Semoga esok hari pun masih ada.
Comments
Post a Comment