Memikirkanmu yang sedang dilanda kesedihan di sana membuatku tidak bisa tidur. Padahal keadaan di sekitarku sepi. Sepi sekali. Hanya suara kipas angin di langit-langit kamarku dan suara dengkuran adikku serta papaku yang samar-samar terdengar di telingaku. Tapi tidak dengan isi kepalaku. Isi kepalaku riuh sekali. Seperti suara hujan deras disertai angin kencang yang mampu menumbangkan pohon-pohon besar yang sejak lama telah berdiri kokoh di pinggir jalan. Seperti suara amukan ombak yang menerpa dermaga kapal. Seperti suara teriakan segerombolan anak kecil—yang minta dikebiri pakai gergaji mesin—di masjid yang sedang membangunkan warga untuk sahur. Oh, ternyata mereka memang sedang membangunkan warga untuk sahur.
Aku tidak mengerti, mengapa isi kepalaku serusuh ini padahal yang aku pikirkan semalaman ini hanyalah kamu? Maksudku bukan hanya malam ini saja aku memikirkan kamu. Bukan begitu. Aku selalu memikirkan kamu, hanya saja kali ini berbeda. Aku memikirkanmu beserta kesedihan-kesedihan yang kamu rasakan. Aku juga semakin sedih karena di saat kamu membutuhkan pelukanku, aku tidak bisa memberikannya. Padahal kamu sudah memintanya langsung kepadaku. Jangankan memelukmu, menatap kecantikanmu seminggu sekali saja belum tentu aku mampu. Pria macam apa aku ini. Rasanya tidak pantas jika aku dipanggil pria.
Sayang, aku tau apa yang kamu tangisi. Kamu pasti menangis karena kita di tempatkan di ruang belajar yang berbeda. Aku juga merasakan kesedihan yang sama seperti kamu. Bedanya, aku tidak menangis menggunakan air mata seperti kamu, melainkan dengan hati. Menangis tanpa air mata itu rasanya jauh lebih sakit dan menyiksa. Tapi kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Menangis dengan cara seperti itu adalah hal biasa buatku.
Sayang, aku tau ini berat. Dipisahkan oleh jarak dan tempat tinggal saja sudah berat, apa lagi jika "pemisah"-nya harus ditambah lagi seperti ini. Untuk pasangan yang cemen dan hanya pintar mengumbar kemesraan semu, pasti hal ini terlalu berat untuk dihadapi dan akhirnya mereka memilih untuk saling melukai dengan kata-kata perpisahan. Tapi tidak dengan kita. Kita tidak sepayah itu. Kita dipertemukan bukan untuk menjadi lemah seperti pasangan-pasangan cemen di luar sana. Kita tidaklah seperti itu.
Sayang, tantangan untuk kita di depan sana masih sangat banyak jumlahnya. Entah apa lagi skenario yang hendak Tuhan mainkan, kita tidak akan tau. Yang aku tau adalah kamu dan aku diciptakan untuk saling menguatkan, untuk saling bahu-membahu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Tuhan kepada kita.
Sayang, ayolah bangkit. Aku tau ini sulit. Aku tau ini berat. Tapi untuk apa kita terus-terusan dirundung kesedihan? Biarkan hal-hal seperti ini berusaha memisahkan kita, tapi hati kita tidak pernah diciptakan untuk bertemu lalu berpisah. Hati kita berdua hanya diciptakan untuk bertemu, lalu bahu-membahu membangun cinta yang putih dan lembut seperti salju di Kutub Utara dan Selatan bumi. Kita tidak boleh menyerah di sini. Kita tidak boleh melelehkan salju di kedua kutub, karena itu bisa menenggelamkan dunia. Dunia yang telah kita bangun sejauh ini. Dunia yang telah menciptakan beribu-ribu kebahagiaan. Dunia yang telah melukiskan beribu-ribu senyuman. Dunia yang telah mengabadikan beribu-ribu kenangan. Ayolah sayang, kita harus bangkit. Kita harus bangkit dari kesedihan ini.
Jarak hanya berlaku bagi raga kita, bukan cinta kita. Pemisah di antara kita bukanlah jarak atau pun maut, tapi ketika saat berdoa kita sudah enggan untuk saling sebut.
Sayang, aku tau kamu adalah wanita kuat, wanita hebat. Wanita yang mampu menaklukan si pria lemah ini dengan sekali tatap. Untuk itu aku mohon, bantulah aku menguatkan kita. Menguatkan dunia yang penuh dengan cerita kita. Menguatkan cinta yang telah melekat pada napas masing-masing.
Sayang, masih ingat kan apa yang aku inginkan setiap kali kita sedang menghadapi badai? Yang aku inginkan bukanlah menunggu badai itu reda, tapi genggamlah tanganku, mari kita sama-sama menari lewati hujan.
Comments
Post a Comment