"Orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling mampu melukai". Awalnya aku tidak percaya dengan kalimat yang nangkring di timeline Twitter-ku itu.
Mana mungkin orang yang paling mampu menghadirkan cinta justru ia jugalah yang paling mampu memberikan luka? Bukankah antara cinta dengan luka sangat bertolak belakang?
Ya, awalnya. Tapi setelah aku dan kamu memutuskan untuk menghadirkan kita, perlahan namun pasti, kalimat itu aku imani karena ternyata ada benarnya juga.
Kita yang sejak memulai perjalanan sama-sama penuh luka lama perlahan mulai saling mengobati. Cinta yang baru menghadirkan jiwa yang baru, jiwa yang sehat tanpa goresan luka yang ditinggalkan oleh masa lalu masing-masing. Tapi gerimis yang tenang dan sejuk pasti selalu di akhiri dengan badai yang dingin dan menusuk...
Kita yang sejak awal sepakat untuk saling mengobati, justru kita malah saling menggoreskan luka di masing-masing hati. Aku sering tersulut bara cemburu hingga pikiranku hangus terbakar, begitu pun kamu yang meledak-ledak karena aku tak henti-hentinya membicarakan masa lalumu. Tapi kita tidak pernah ingkar janji. Luka yang kita buat sendiri, kita jugalah yang mengobati, walaupun kita sama-sama tau jika luka yang mengering itu suatu saat akan basah lagi.
Sayang, walaupun nanti kita akan bertengkar lagi, tetaplah genggam erat tanganku. Badai memang menyeramkan karena ia mampu dengan seketika merusak apa yang sudah dibangun susah payah sejak lama, tapi kamu mesti ingat, pelangi tidak akan pernah muncul tanpa diawali dengan badai. Bila badai itu datang lagi, kamu tak perlu cemas. Cukup genggamlah tanganku, lalu kita lukiskan pelangi bersama, setelah badai menyerah dan pergi.
"Orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling mampu melukai, tapi itu tidak jadi masalah. Karena dengan luka, kita belajar untuk saling mengobati."
Comments
Post a Comment