Kali ini seperti sedang berjalan pada sebuah jembatan tua yang rapuh dan berbahaya di tengah hutan belantara, tapi ya mau bagaimana, mesti dilalui meski terpaksa. Ingin kembali ke titik mula, jelas tidak bisa. Ingin segera sampai ke ujung satunya, tidak semudah itu juga. Pilihan termudah adalah menghempaskan diri ke dasar jurang yang sudah menanti di bawah sana, lalu menghilang di tengah kegelapan yang tak terjangkau sinar mentari. Jika harus terperangkap di bawah sana selamanya, tidak apa, tidak akan ada yang menyadarinya juga. Pernah berpikir, tidak ada lagi, itulah jalan keluar yang harus dipilih.
Pernah atau masih?
Masih berjalan, lelah tanpa jeda, dihadapkan dengan hanya dua pilihan: terus maju atau menyerah saja. Kaki memang terus melangkah tapi pikiran seperti tidak berjalan ke mana-mana, berputar di jalan yang itu-itu saja; dilema antara memaksakan kemajuan atau mengakui kekalahan. Kaki terus saja melangkah pada akhirnya.
Langkah kaki yang tak pernah berhenti itu membawaku sampai ke ujung jembatan, "Apakah ini akhir dari segala kepenatan?" Belum juga selesai menghela napas, tak lama kemudian di depan terlihat ada jembatan lain yang menanti untuk dilalui, beserta jurangnya yang dalam untuk membawaku tenggelam ketika langkah kaki ini mesti terhenti karena luka lebam. Jurang yang bersedia menguburku bersama kehidupan yang kejam, bersama memori masa lalu yang kelam, segelap langit malam saat bulan sedang muram.
Entah sampai kapan, berapa lama lagi, berapa jembatan dan jurang lagi, yang sebetulnya harus dilewati, atau jangan-jangan aku hanya berputar-putar di satu jembatan yang sama? Kapan mentari akan bersinar lagi di hutan belantara ini, tidak ada yang tahu. Kapan aku bisa keluar dari sini, juga tidak pernah ada yang tahu. Memang harus dicari tahu sendiri jawabannya. Memang terkutuk untuk menderita sendiri sepertinya. Ketemu atau tidak jawabannya, kaki terus melangkah pada akhirnya.
Semoga kaki ini tidak mudah lelah atau aku akan terjatuh dan kali ini benar-benar kalah.
Comments
Post a Comment