Malam ini terasa begitu berat. Jarum jam berdetak sangat lambat. Tak sebanding dengan jantungku yang terasa seperti berhenti berdetak, layaknya orang sekarat.
Aku tak tau betul bagaimana rasanya sekarat, apa lagi sampai jantung berhenti berdetak. Namun, aku cukup paham bagaimana rasanya memiliki hati yang patah.
Hati priamu kembali patah, karena ulahnya sendiri.
Entah apakah masih pantas aku menyebut diriku sebagai priamu. Yang jelas, sampai saat kamu membaca tulisan ini pun aku masih sangat bangga menjadi sesosok manusia yang melengkapi hidupmu.
Atau justru kehadiranku malah merusak duniamu?
Kejadian malam ini menambah catatan burukku di buku berjudul kekecewaan. Satu kalimat yang kamu update di timeline akun media sosialmu kembali menampar pikiranku. Sungguh kesalahan yang sangat besar karena aku tidak peka terhadap permintaanmu.
Harusnya aku memiliki perasaan yang mampu menangkap segala jenis rasa seperti lidah.
Harusnya aku bertindak cepat atas keresahanmu.
Harusnya aku bisa berkorban lebih besar lagi untukmu.
Harusnya...
Tapi semua keharusan itu tinggalah percuma. Nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlambat. Hatimu telah tergores cukup dalam. Penyesalanku tidaklah berarti apa-apa.
Hati priamu akan terus patah jika kamu masih saja kecewa. Lewat tulisan ini, aku ingin meminta maaf kepadamu. Aku sadar bahwa aku bodoh. Aku sadar bahwa aku tidak berguna. Aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk kebahagiaanmu.
Mungkin berat bagimu untuk memaafkanku yang telah membiarkanmu menghadapi terpaan badai sendirian. Mungkin sulit bagimu untuk memaafkanku yang telah membiarkanmu kesulitan mencari pertolongan.
Aku minta maaf.
Walaupun aku selalu saja penuh kekurangan dan selalu saja mengecewakanmu, tetapi ada satu hal yang perlu kamu pahami: Entah sudah berapa puluh badai yang aku hadapi, entah sudah berapa puluh kali priamu mengalami patah hati, tapi aku tak peduli. Karena priamu hanya ingin melihat bidadarinya tersenyum bahagia.
Comments
Post a Comment