Jika lewat tengah malam pesan berisikan link menuju blog ini muncul di Whatsapp-mu, isinya sudah hampir pasti bisa ditebak, lagi-lagi tentang seorang pria yang masih terjebak pada ingatan masa lalu beserta seluruh lukanya yang masih saja tak kunjung sembuh. Beberapa sudah membaik, tetapi sebagian besar sepertinya belum, sehingga seperti biasa ia akan menuangkan segala memar yang tersisa untuk kamu dengarkan.
Jadi, begini.
Tidak tepat jika menyimpulkan bahwa aku baik-baik saja hanya karena aku terlihat baik-baik saja. Tak jarang sebuah kalimat, aroma, situasi, menarik diriku kembali ke masa kelam itu. Tak terkecuali saat bersamamu, di tengah-tengah momen menyenangkan, rasa sesak di dada ini bisa muncul tiba-tiba secepat kilat dan mengendap selama berhari-hari. Menceritakannya secara langsung tentu saja akan merusak momennya, membuat perasaanmu berubah jadi tidak enak, membuat hubungan kita terasa tidak nyaman, maka karena tidak mau itu semua terjadi, aku memilih diam dan memendamnya sendiri.
Ketika tulisan-tulisan seperti ini hadir kembali di hidupmu, itu tandanya batasanku untuk memendamnya sendirian sudah habis, dan kamu mungkin sudah hafal dengan situasi semacam ini. Bagaimana tidak, sudah lima tahun berjalan dan masih begini-begini saja, tentu bukan barang baru buatmu. Kamu mungkin bahkan sudah lupa dengan segala detail yang terjadi, bagaimana kamu bisa selalai dan sebodoh itu, bagaimana kamu dengan santainya menggangap eksistensiku tak penting untuk dipikirkan, mengabaikanku sebagai manusia yang juga punya perasaan sama seperti dirimu, sementara aku di sini masih sangat jelas mengingat semuanya, merasakan semuanya, menelan pahitnya, me—
Ah, sudahlah, cukup. Terus-menerus bermental korban dan memaki-maki dirimu tidak akan pernah membuatku seketika sembuh. Yang ada hanya berbagi rasa sakit, lalu kita berdua menjadi sepasang kekasih pesakitan.
Aku memaafkanmu, aku kembali berikan seluruh kepercayaan ini padamu, semuanya bukanlah hal yang bisa kamu dapatkan secara cuma-cuma setelah apa yang kamu lakukan. Perlu pengorbanan, perlu penerimaan, perlu merelakan, perlu melawan ketakutan atas hantu kegagalan, bahkan perlu hidup kembali dan bangkit dari kematian. Terdengar berlebihan, tapi cobalah sebentar berdiri di atas sepatuku, kemudian coba lihat dunia dari kacamataku, maka kamu akan berpikir justru aneh jika aku baik-baik saja setelah semua yang mengantamku.
Perasaan tidak nyaman yang sedang kamu rasakan setelah sampai pada kalimat ini cobalah untuk kamu jadikan refleksi atas seluruh hal yang terjadi pada kita berdua. Perjalanan ini jelas tidak mudah. Hal yang perlu kamu ingat adalah aku tidak pernah benar-benar baik-baik saja. Dalam 24 jam, mungkin ada saja satu sampai dua jam aku habiskan untuk bertarung dengan rasa sakit di dada, setiap hari, selama hampir lima tahun ke belakang. Frekuensinya semakin berkurang, tetapi momen seperti ini belum menghilang, terbukti dengan hadirnya tulisan bernada keras dan menyudutkan seperti ini.
Terima kasih karena telah sabar menghadapiku yang pesakitan ini. Aku paham betul kamu sepenuhnya merasa bersalah atas segala rentetan kejadian dan tindakan yang kamu lakukan. Pun ini bukan sepenuhnya salahmu, ada peranku yang lalai dalam menyayangimu, sehingga kamu mencari kasih sayang di tempat lain. Bagaimana pun juga, hubungan ini milik berdua, tidak bisa salah satunya merawat lebih besar dari yang lain. Tidak bisa juga salah satunya lebih santai dari pada yang lain. Berjalan beriringan, cuma itu satu-satunya cara untuk terus melaju ke depan.
Mungkin nanti aku akan marah-marah lagi, mungkin juga tidak, tidak tahu pasti, tetapi semoga tidak, karena aku mencintaimu lebih dari apa pun, dan kamu tahu persis tentang itu.
Yang paling penting, luka itu memang masih ada, tetapi begitu pula diriku.
Comments
Post a Comment