Berjarak. Sebuah kata yang selalu aku benci, terselip di antara kita berdua.
Tanpa adanya kesibukan pun, tubuhmu dan tubuhku sudah sering berada dalam jarak. Di sana tinggalmu, di sini tinggalku, kita menjalani hidup masing-masing. Bisa dibilang sudah terbiasa, tapi hati selalu berkata tidak terima, inginnya terus bersama, maunya ke mana-mana selalu berdua. Sudah bertahun-tahun lamanya, persoalan jarak selalu jadi tema utamanya.
Ingin selalu bertemu dan mencubit pipi gembilmu satu per satu, menjadi harapan rutinku dari Senin ke Minggu. Pertemuan kita yang sering kali menyenangkan itu selalu kunanti, selalu kutunggu. Tawa pemecah keheningan, aroma khas yang muncul dari rambut dan pakaianmu, jemari mungilmu, lembut kulitmu, dan banyak hal lain tentang kehadiranmu yang tidak bisa kusebutkan satu demi satu, membuatku selalu merindu.
Namun, berjarak fisik bukanlah apa-apa dibandingkan perasaan yang berjarak. Pertemuan yang terjadi, tidaklah bermakna lagi. Hati yang sudah tidak lagi di tempatnya, hilangnya keinginan untuk berjuang bersama, bagiku itulah definisi berjarak yang sesungguhnya, hal yang tidak ingin aku rasakan untuk kedua kalinya. Jika harus memilih antara berjarak dengan kehidupan atau harus mengulangi pengalaman berjarak perasaan lagi denganmu, aku akan dengan memudah memilih pilihan yang pertama. Hidup tidak lagi sepenuhnya bermakna ketika kamu tidak ada, ketika perasaanmu padaku entah menguap ke mana. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan luka.
Kini aku merasakan, meninggalkanmu dengan alasan kesibukan, terkikisnya waktu untuk mendengarkanmu bercerita tentang keseharian, jelas terasa menyedihkan. Aku ingin selalu ada untukmu, tentu saja, sebuah dedikasi yang tidak perlu diragukan. Namun, kesibukan berkata lain, aku tak bisa selalu menemanimu bermain, seperti yang kulakukan kemarin.
Bersabarlah sejenak. Aku percaya, kita tidak pernah betul-betul berjarak, karena dirimu selalu tertanam dalam benak.
Comments
Post a Comment