Kali ini, lagi-lagi, tentang luka.
Juga tentang keinginanku untuk sembuh.
Entah aku sedang sakit apa, tapi sakitnya terasa nyata. Entah kapan aku bisa sembuh dan kembali sepenuhnya ceria, aku tak tau pastinya. Yang aku yakini, ini pasti ada penawarannya, tak lama lagi luka ini tiada.
Sudah melebihi setengah tahun nyeri yang sama menyelimuti dada. Kadang aku lewati dengan biasa saja, tapi tak jarang pukulan telak yang mengarah tepat ke kepalaku ini sangat mengganggu. Saking menyebalkannya, aku kadang melihatmu sebagai sosok yang aku benci, membuatku lupa bahwa kamu adalah perempuan yang paling aku cintai saat ini. Luka lebam itu membuatku tak sadar betapa berharganya dirimu.
Namun, aku tak selemah sebelumnya. Segala bentuk penghancuran dan penghinaan diri yang kamu berikan justru membuatku semakin kuat. Kadang memang tak ada salahnya juga berjalan sendirian di tengah-tengah badai pasir di padang Afrika, badai salju di daratan Rusia, badai ombak di lautan Jepang, atau badai di dalam pikiranmu sendiri, karena kadang itu yang perlu kamu lalui untuk menjadi lebih kuat. Aku rasa tak ada waktu bagiku untuk lagi-lagi menyerah, aku sudah terlalu kuat untuk begitu saja mendeklarasikan kalah.
Tak ada tempat untuk lari, tak ada tempat untuk sembunyi, tak ada tempat untuk pasrah dan berdiam diri. Luka ini tidak akan sembuh dengan sendirinya. Terima rasa sakitnya. Terima penderitaannya. Terima konsekuensinya. Cinta tak melulu tentang yang indah-indah. Ada kalanya kita terkubur dalam jurang kegelapan. Pilihannya apakah ingin bangkit mengejar cahaya mentari, atau lenyap ditelan gelap.
Bukan cuma soal memaafkan, tetapi menerima, dan ternyata melakukan itu tak semudah mengucapkan. Sederhana, aku hanya harus menerima, tapi aku tak kunjung melakukannya juga. Tak ada sihir yang mampu mengubah masa lalu, aku sadar betul itu. Nasi sudah menjadi bubur, mereka bilang. Jika demikian, sekarang aku ingin menghidangkanmu bubur paling lezat di dunia.
Menerima, ya? Baiklah, akan aku terima sakitnya. Akan aku terima lelahnya. Akan aku terima seluruh salahnya. Aku ingin sembuh, itu saja.
Aku akan lakukan sekuat tenaga, selagi hasilnya adalah berbahagia bersamamu.
Happy ending, ya? Terdengar sangat menyenangkan.
Ya, kan?
Comments
Post a Comment