Sore itu kebetulan aku bisa pulang sebelum matahari terbenam, tetapi sesaat setelah melangkahkan kaki keluar dari gedung tempatku bekerja, gemercik air tiba-tiba datang dari arah langit, jatuh tepat membasahi wajahku. Sore itu hujan turun tanpa aba-aba, membuat langit yang tadinya biru seketika menuju kelabu. Padahal sebelumnya langit cerah sejak pagi, dan karena itu tentu saja aku lupa membawa jas hujan, tak sempat memikirkannya bahkan, langit yang terlampau cerah membuatku mengabaikannya. Begitu kira-kira gambaran tentang diriku yang naif dan ceroboh, yang mengira jika detik ini langit cerah membiru, maka sembilan jam kemudian langit akan tetap biru.
Seperti diriku yang secara naif tak pernah berhenti mengharapkanmu untuk selalu membuat langitku terlukis biru.
Makan malam sendirian dengan menu sate padang di kedai dekat rumah, melatih otot punggung dan lengan di gym setelahnya, kemudian pulang ke rumah untuk membersihkan diri, dan kembali melanjutkan episode anime yang terakhir kutonton kemarin malam. Semua rencana yang sudah kususun dengan matang di kepala, seketika itu juga sirna. Sekarang aku berada di sini, terduduk di kantin yang sempit dan sesak, karena ada banyak orang yang sama cerobohnya denganku, berteduh sembari kebasahan dan kedinginan, berharap hujan dapat segera berhenti agar bisa cepat pulang dan bertemu dengan hal-hal yang dinanti.
Segala keinginan dan harapan akan masa depan menjadi sia-sia, ketika diriku terbuai dengan langit yang nampak selalu biru, sehingga lupa bahwa langit juga kadang bisa menjadi gelap kelabu, tanpa perlu menyampaikan peringatan terlebih dahulu kepadaku. Seperti yang telah aku lakukan kepadamu, yang selalu menganggapmu sebagai langit biruku, yang justru menghadirkanku langit paling kelabu, yang pernah aku lalui seumur hidupku.
Terpaksa berteduh setelah lelah bekerja membuatku merasa lapar, tentu saja. Tidak ada kedai makanan yang masih buka selain pedagang nasi goreng di ujung kantin. Tidak masalah, kali ini makan nasi goreng saja, toh aku juga menyukainya. Namun, sialnya aku harus menahan lapar lebih lama lagi, karena seperti yang tadi kubilang, bahwa aku dikelilingi oleh orang-orang yang sama cerobohnya denganku, diperparah dengan mereka yang sama laparnya denganku, membuat penderitaan atas kelaparan yang kurasakan ini akan berlangsung lebih lama dari yang aku harapkan. Singkat cerita, kupesan jenis nasi goreng paling murah yang ada di daftar menu yang tertempel di kaca etalase, tentu dengan permintaan ekstra acar, kesukaanku.
Tiga puluh menit kemudian pesananku datang, sepiring nasi goreng tanpa topping yang terlihat pucat pasi, seperti bibirku yang menahan dinginnya hujan di malam itu. Setidaknya ia hadir untuk menghangatkan, bahkan menyelamatkanku dari kelaparan. Setidaknya dikepung angin yang teramat dingin tidak terlalu buruk juga ketika ada yang hadir untuk menghangatkan, tak perlulah sampai harus menyelamatkan, walaupun di suatu waktu aku sempat butuh diselamatkan, tetapi itu kita bahas lain kali saja.
Kamu pasti mengerti bagaimana menyebalkannya terjebak di situasi, di mana kamu tidak bisa ke mana-mana lagi. Berjam-jam dipaksa menunggu derasnya hujan sampai reda, tidak bisa kembali ataupun lanjut pergi, yang bisa kamu lakukan hanyalah berdiam diri. Namun percayalah, terpaksa menepi karena hujan tidak semenyakitkan terpaksa menepi karena kehilangan. Kehilangan ia yang disayang, sampai titik di mana kamu juga harus kehilangan dirimu sendiri. Tidak ada tempat untuk kembali, tetapi juga tidak tau ke mana harus pergi. Aku pernah berada di situasi demikian, di mana hal yang tampak dari penglihatanku hanyalah langit kelabu dan hujan. Di mana langit biru hanya tersisa dalam bentuk kenangan, kenyataan pahit yang seharusnya cepat-cepat bisa aku telan.
Hujan lebat perlahan bergeser menjadi gerimis, hingga terlihat mulai semakin mereda. Nasi goreng yang tadi kupesan juga sudah kuhabiskan, beserta seluruh kerupuk dan acarnya. Sesekali aku mengecek apakah hujan ini sungguh sudah benar-benar reda, atau hanya tipuan belaka untuk menuju badai yang lebih besar lagi, badai yang tak akan pernah siap untuk aku hadapi. Kalimat barusan rasanya agak berlebihan, tetapi sepertinya tidak terlalu berlebihan untuk seseorang yang pernah benar-benar diterpa badai dan masih sanggup berdiri hingga hari ini, walaupun kadang kedua kaki ini terasa masih bergetar akibat badai sebelumnya. Tetapi kali ini memang berlebihan, karena nyatanya hujan sudah benar-benar reda dan tak ada alasan untuk ragu lagi.
Langit tak selalu biru, seharusnya sejak dulu aku sudah tau itu, tetapi yang lebih penting adalah bukan soal apakah aku mengetahuinya atau tidak, melainkan apakah aku bisa menerima kenyataan itu atau tidak. Karena merupakan hal konyol ketika telah mengetahui bahwa langit tidak akan selalu biru, tetapi tetap mempercayai bahwa langit tidak akan pernah menghadirkan kelabu. Konyolnya lagi, itu yang selama ini aku lakukan. Tentu bukan tanpa dasar. Perasaan tenang, hangat, dan menyenangkan, siapa yang tidak menginginkan itu semua hadir di dalam diri setiap harinya? Bohong jika ada yang menyangkalnya. Itulah kenapa, aku selalu menganggap bahwa langitku akan selalu biru, yang tentu saja tidak akan pernah terjadi.
Namun, setelah banyak hal yang aku lalui, aku jadi belajar, bahwa yang lebih penting bukan dengan siapa diriku berada di saat langit sedang cerah membiru, tetapi siapa yang menjulurkan payungnya lebih dulu di saat langit kelabu mendadak datang diiringi hujan yang pilu.
Yang lebih penting lagi dari semuanya adalah sekarang aku merasa lebih bahagia, karena aku akhirnya bisa menerima, bahwa langitku tak selalu biru.
Comments
Post a Comment